Selasa, 18 Mei 2010

adaptasi latihan olahraga terhadap fisiologi otot skelet

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
“Latihan merupakan gerakan dan kegiatan fisik yang melibatkan penggunaan kelompok otot besar, seperti latihan kalistenik, jogging, berenang, dan berlari” (Kent dalam Soni, 2008: 72). “Latihan olahraga merupakan salah satu modulator fungsi biologis yang bersifat ganda, yakni dapat menimbulkan pengaruh positif (meningkatkan dan memperbaiki), maupun pengaruh negatif (menurunkan dan merusak)” (Harjanto dan Santoso dalam Bawono, 2008: 102). Menurut Sugiarto, “Latihan olahraga yang dilakukan secara baik, teratur, progesif, dan tepat dosis akan menyebabkan peningkatan sistem adaptasi tubuh” (Bawono, 2008: 103).
Latihan merupakan salah satu tekanan ekstrim yang diterima oleh tubuh. Adaptasi fisiologis merupakan bentuk reaksi yang terjadi dalam tubuh untuk mempertahankan homeostatis tubuh saat menghadapi tekanan latihan olahraga. Ada empat bentuk adaptasi yang nampak dalam mempertahankan proses homeostatis tubuh, meliputi adaptasi neuromuscular, adaptasi metabolisme, adaptasi kardiorespiratori, dan adaptasi otot skelet. Selain empat bentuk adaptasi tersebut, kelelahan otot merupakan salah bentuk mempertahankan homeostatis tubuh (Roger, 2009: 24).

“Salah satu bentuk adaptasi otot skelet pada latihan olahraga adalah terjadinya proses hipertropi” (Fox dalam Pardjiono, 2008: 114). Menurut Guyton dan Hall, (Pardjiono, 2008: 114) Pada otot skelet manusia belum ditemukan bukti bahwa latihan olahraga dapat menyebabkan proses hyperplasia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh latihan olahraga terhadap mekanisme hipertropi dan hyperplasia otot skelet?
2. Jelaskan bentuk-bentuk latihan terhadap hipertropi otot skelet?
3. Bagaimanakah mekanisme terjadinya kelelahan otot dan macam-macam cedera otot skelet?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengaruh latihan terhadap hipertropi dan hyperplasia otot skelet.
2. Menjelaskan bentuk-bentuk latihan terhadap hipertropi otot skelet.
3. Menjelaskan mekanisme kelelahan otot skelet dan macam-macam cedera otot skelet.

D. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penulisan makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang proses adaptasi apa saja yang dapat terjadi akibat latihan, dan apa asaja pengaruhnya terhadap otot skelet.
2. Manfaat Praktis
Dalam penulisan makalah ini, kami berharap agar para pembaca khususnya masyarakat olahraga (pelatih dan atlet) untuk lebih memperhatikan dampak yang dapat timbul akibat latihan (Training) terhadap tubuh khususnya otot skelet, agar dapat dapat menjalankan latihan dengan prinsip-prinsip yang benar dan dapat mengoptimalkan penampilan.

E. Definisi
1. Adaptasi adalah penyesuaian atau pengkondisian akibat pengaruh atau stimulus dari luar (Badudu, 2001: 7).
2. Adaptasi olahraga adalah perubahan struktur atau fungsi organ-organ tubuh yang sifatnya lebih menetap karena latihan fisik yang dilakukan dengan teratur dalam periode waktu tertentu (Vananen dalam Bawono,2008:103).
3. Latihan adalah gerakan atau kegiatan fisik yang menggunakan sekelompok otot besar, seperti latihan kalistenik, dansa, bersepeda, berlari dan lain-lain (Kent dalam Soni, 2008: 72).
4. Fisiologi adalah Ilmu yang mempelajari fungsi pada zat hidup dan mencoba menerangkan faktor-faktor fisik dan kimia yang bertanggung jawab akan asal, perkembangan, dan gerak maju kehidupa (Dault, 2006: 1).
5. Fisiologi olahraga adalah suatu diskusi mengenai batas tertinggi bagi sebagian besar mekanisme tubuh untuk menerima stress (Weineck dalam Pardjiono, 2008: 114).
6. Otot skelet adalah salah satu jenis otot yang menempel pada rangka dan mempunyai fungsi untuk gerak tubuh serta dalam menjalankan tugasnya dipengaruhi oleh kehendak (Dault, 2006: 37).
7. Hiperplasia adalah bertambahnya jumlah sel dari proses pembelahan
( Mouncastle dalam Pardjiono, 2008: 115).
8. Hipertropi adalah bertambahnya ukuran massa dan ukuran sel otot (Mouncastle dalam Pardjiono, 2008: 115).


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Latihan
“Latihan olahraga merupakan gerakan atau kegiatan fisik yang melibatkan penggunaan kelompok otot besar, seperti dansa, kalistenik, permainan dan aktivitas yang lebih formal seperti jogging, berenang, dan berlari” (Kent dalam Soni, 2008: 72). Menurut Maladi “Latihan olahraga adalah suatu bentuk kegiatan jasmani yang terdapat di dalam permainan, perlombaan dan kegiatan intensif dalam rangka memperoleh relevansi kemenangan dan prestasi olahraga” (Syarifuddin, 2009: 1).
Acute exercise adalah latihan yang dilakukan hanya sekali saja atau disebut juga dengan exercise, sedangkan chronik exercise adalah latihan yang dilakukan secara berulang-ulang sampai beberapa hari atau bahkan sampai beberapa bulan. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah dengan melakukan Training akan terjadi perubahan penting di dalam tubuh sedangkan dengan melakukan exercise perubahan yang terjadi kurang penting. Perubahan yang terjadi saat seseorang melakukan exercise disebut dengan respon. Sedangkan perubahan yang terjadi karena training disebut adaptasi ( Bawono, 2008: 104).

B. Prinsip-Prinsip Latihan
Dalam mempelajarai prinsip umum berolahraga kita perlu memperhatikan tiga disiplin ilmu yaitu: Ilmu Faal (Fisiologik), Ilmu Jiwa (Psikologik), dan Ilmu Kependidikan (Pedagogik). Dari ketiga disiplin ilmu tersebut menghasilkan tiga hukum atau prinsip dasar berolahraga yaitu: hukum pedagogik, hukum psikologik, hukum fisiologik. Dalam berolahraga dipengaruhi oleh tiga hukum fisiologik, yaitu : hukum overload, hukum kekhususan (Specificity), dan hukum reversibilitas (Reversibility) (Roger, 2009: 2).
a. Prinsip overload
“Prinsip overload banyak memperbaiki dalam kebugaran seorang, sehingga membutuhkan suatu peningkatan beban latihan yang akan menantang keadaan kebugaran seseorang. Beban latihan berfungsi sebagai suatu stimulus dan mendatangkan suatu respon dari tubuh” (Roger, 2009: 2).
Hanya dengan prinsip overload atau pembebanan yang meningkat seacara bertahap akan menghasilkan overkompensasi dalam kemampuan biologik. Karena itu, bias terjadi beban latihan terlampau ringan, jauh dibawah demand yang sesungguhnya dan sebaliknya bila proses pembebanan tersebut berlebihan maka akan terjadi overtraining (Sudrajat dkk, 2000: 28).

b. Prinsip kekhususan (Specificity)
“Prinsip kekhususan adalah bahwa beban latihan yang alami menentukan efek latihan”, latihan harus secara khusus untuk efek yang diinginkan”. “Metode latihan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan latihan”. Beban latihan menjadi spesifik ketika memiliki rasio ... dan struktur pembebanan latihan yang tepat” (Roger, 2009: 3).
c. Prinsip kebalikan (Reversibility)
Prinsip latihan yang lain adalah prinsip kebalikaan atau reversibility,

Prinsip kebalikan (reversibility) adalah apabila kita berhenti berlatih maka tubuh kita akan kembali ke keadaan semula atau kondisinya tidak akan meningkat. Tingkat kebugaran akan menurun jika pembebanan latihan tidak dilanjutkan (continued). Dalam pembebanan latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika kebugaran umum dan khusus terus ditingkatkan, beban latihan harus ditingkatkan secara regular (Roger, 2009: 12).

C. Fisiologi
Menurut Dault, (2006: 1-2) “Fisiologi merupakan ilmu yang mempelajari fungsi pada zat hidup, yang mencoba ... menerangkan faktor-faktor fisik dari kimia yang bertanggung jawab akan asal, perkembangan, dan gerak maju kehidupan”. Dia menambahkan, “dalam fisiologi manusia lebih membahas tentang sel, jaringan, organ, sistem organ dalam tubuh” ....

D. Fisiologi Olahraga
“Fisiologi olahraga adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia ... pada waktu olahraga”. “Fisiologi olahraga ... berusaha untuk mempelajari efek latihan terhadap tubuh, mempelajari bagaimana efisiensi tubuh manusia yang dapat diperbaiki dengan latihan” (Claudius, 2009: 3).
Fisiologi olahraga merupakan suatu diskusi mengenai batas tertinggi bagi sebagian besar mekanisme tubuh untuk menerima stress. Misalnya pada seseorang yang menderita demam yang sangat tinggi, mendekati tingkat letal, metabolisme tubuh meningkat sekitar 100 % di atas normal. Sebagai pembandinya yaitu metabolisme tubuh selama lari marathon, meningkat sampai 2000 % di atas normal (Weineck dalam Pardjiono, 2008: 114).

E. Otot
“Otot digunakan untuk menggerakkan bagian tubuh, dengan cara berkontraksi, kalau dikaitkan dengan kegiatan manusia fungsi otot memiliki urutan teratas ... terutama dalam latihan olahraga”. “ Otot yang terlatih akan menyebabkan otot tersebut menjadi lebih efisien artinya dalam pekerjaanya otot tersebut akan memerlukan relatif sedikit tenaga dibanding otot yang tak terlatih” (Tjaliek, 1992: 70).
“ Berdasarkan stuktur dan sifat fisiologik, otot dibagi menjadi 3 jenis, yakni otot skelet, otot polos dan otot jantung”, khusus untuk pergerakan tubuh dilakukan oleh otot skelet saja”. Hampir 50% tubuh tersusun oleh otot, sekitar 40%-nya adalah otot skelet, dan 5-10%-nya adalah otot polos dan otot jantung” (Guyton dan Hall, dalam Pardjiono 2008: 112).

F. Otot Skelet
Berdasarkan uraian di atas, salah satu jenis otot pada manusia adalah otot skelet atau otot rangka.
Otot ini kebanyakan melekat pada tulang sehingga disebut sebagai otot rangka atau tulang. Penampang otot skelet jika diamati dengan mikroskop akan nampak seperti lurik. Otot ini memiliki sifat bisa diperintah oleh kehendak (voluntary), artinya dalam proses pemendekanya tergantung kepada kemauan atau kehendak. Otot skelet ada dua macam yakni otot merah atau slow twich dan otot putih atau fast twich. Otot merah kontraksinya lambat memiliki banyak pembuluh darah, power tidak begitu besar, tetapi tahan lama. Otot putih kontraksinya cepat, tidak banyak mengandung pembuluh darah, power tidak begitu besar, dan tetapi tidak tahan tahan lama dalam melakukan kontraksinya ( Tjaliek, 1992: 73).





Gambar 2. 1 Susunan otot skelet
(Sumber ; Gibson:1995: 34).
“Otot skelet terdiri beberapa komponen, yaitu sarkolema, myofibril, dan sarkoplasma” (Thibodeau dan patton dalam Pardjiono, 2008: 113-114). “Sarkolema adalah membran sel serabut otot yang terdiri dari membran plasma dan lapisan luarnya terdiri dari lapisan polisakarida dan mengandung banyak serat kolagen”. “Ujung-ujung serabut otot yang dilapisi sarkolema akan menyatu ... dan bergabung dengan serat tendon otot”. “Beberapa serat tendon otot akan bergabung menjadi berkas otot membentuk tendon otot dan melekat pada tulang (Guyton dan Hall dalam Pardjiono, 2008: 113).
Menurut Guyton dan Hall, “Tiap-tiap serabut otot mengandung beratus-ratus bahkan beribu-ribu myofibril yang terdiri dari filament aktin dan myosin, yang terlihat sebagai bintik-bintik pada potongan melintang”. Selain itu, “Filamen aktin dan myosin ... berperan dalam kontraksi otot” . “Pita gelap tebal disebut pita A, bersifat anisotop, terdiri dari filament myosin yang tersusun parallel”. Sedangkan, “Pita terang lebar disebut pita I, bersifat isotrop, terdiri dari filament aktin yang terbagi menjadi dua yang simetris oleh sebuah pita A terdapat pita yang lebih terang dan lebar, juga membagi dua simetris pita A, disebut pita H”. Daerah yang terletak diantara dua pita Z disebut sarkomer” (Pardjiono, 2008: 114).
Menurut Patton,Fuch dan Hille, “Myofibril terbagi menjadi dua yaitu miofilamen atau filament myosin lebarnya 10-14 nm dengan panjang 1,6m, sedangkan filament aktin lebarnya 7 nm dan panjangnya” (Pardjiono,2008: 113).





Gambar 2. 2 Struktur Anatomi Serabut Otot Skelet.
(Sumber; Gibson, 1995: 34)

G. Adaptasi Latihan
Menurut Sugiarto, “ketika tubuh melakukan latihan fisik yang merupakan suatu bentuk stressor fisik dapat menyebabkan gangguan homeostatik, dan tubuh akan memberikan tanggapan berupa mekanisme umpan balik negatif” ( Bawono, 2008: 103).
Tanggapan tersebut berupa:
1. Respon “jawab sewaktu’’ adalah perubahan fungsi organ tubuh yang bersifat sementara dan berlangsung tiba-tiba, sebagai akibat dari aktivitas fisik. Perubahan fungsi ini akan segera hilang dengan segera dan kembali normal setelah aktivitas dihentikan.
2. Adaptasi “ jawab lambat adalah perubahan struktur atau fungsi organ- organ tubuh yang sifatnya lebih menetap karena latihan fisik yang lebih dilakukan dengan teratur dalam periode waktu tertentu
(Vaananen dalam Bawono, 2008: 103).

“Reaksi adaptasi hanya akan timbul apabila beban latihan yang diberikan intensitasnya cukup memadai dan berlangsung cukup lama” (Vaananen dalam Bawono, 2008). Jadi latihan harus dilakukan dalam training zone dan durasi latihan dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Menurut Supriadi, “chronic training adalah latihan yang dilakukan secara berulang-ulang sampai beberapa hari atau sampai beberapa bulan (Training)” (Bawono, 2008:103). “ Perubahan yang terjadi karena training disebut dengan adaptasi, salah satu bentuk adaptasi otot skelet pada olahraga, diantaranya terjadinya hipertropi otot, kelelahan otot ” (Tjaliek, 1992: 45).

H. Hipertropi Otot Skelet dan Hiperplasia Otot Skelet
1. Hipertropi Otot Skelet
“ Dengan olahraga otot dapat mengalami hipertropi, karena selama kita latihan menghasilkan faktor-faktor yang … mempengaruhi terjadinya hipertropi otot.’’ Sedangkan, “ Mekanisme hipertropi otot skelet dapat terjadi karena beberapa factor, antara lain hormon pertumbuhan,IGF-1, sintesa protein miofibrilar, sintesa aktin protein aktin mRNA, aktifitas aktin promoter, rintangan dari ubiquitin ligases tertentu serta famili integrin yang secara umum sampai saat ini telah diketahui dapat berfungsi sebagai ‘’ promotor’’ atau ‘’inisiator’’ pada sel otot skelet untuk modulasi hipertropi otot " (Weineck dalam Pardjiono, 2008: 115).
Calcineurin juga berperan dalam proses hipertropi otot, … yakni calmodulin-dependen phosphatase yang penting sekali dalam memberikan sinyal pada keadaan yang kelebihan muatan serat otot yang mengalami hipertropi otot (Astrand, Rodahl, Dahl dalam Pardjiono, 2008: 119). Kegunaan calcineurin dalam dalam hipertropi otot dengan beragam perintang farmakologi calcineurin. Calcineurin diaktifkan dalam otot yang terlalu berat melalui peningkatan kronis dalam kalsium intraselular yang terjadi di bawah kondisi yang kelebihan muatan sebagai hasilnya dari suatu penggandaan syaraf yang di tengahi aktifasi serat otot dan muatan yang bersangkutan meningkat dalam IGF-1 (Weineck dalam Pardjiono, 2008). Sekali diaktifkan, calcineurin memberikan sinyal ke bawah gen yang terlibat dalam pengaturan ukuran serat otot melalui desphophorylation dari factor transkipsi substratnya, factor nuklir sel T yang diaktifkan (NFAT) (Selman, De Ruisseau dan Betters dalam Pardjiono,2008:117). Beragam isoform NFAT mampu untuk mengakifkan beragam gen, yang telah diimplikasikan dalam serat otot yang lemah dan gen otot yang hipertropi. Calcineurin diperlukan hanya pada waktu yang spesifik dan pertumbuhan kembali otot dari otot yang atropi, dan waktu ini beragam diantara beragam diantara otot cepat dan lambat (De Vol, Rotwein dan Sadow,dalam Pardjiono, 2008).
Rintangan dari ubiquitin ligases tertentu juga berperan dalam hipertropi otot. Myostastin terdapat dalam otot yang mengalami hipertropi,peregangan otot dapat meningkatkan protein myostatin, sebaliknya ketika pada waktu terjadi muatan singkat menghalangi selama peregangan. Kondisi yang kuat untuk pertumbuhan pada pengaturan otot myostatin adalah setelah lahir. Rintangan dari sintesa glikogen kinase-3a oleh suatu muatan negatif yang dominan atau LICI dihubungkan dengan suatu perluasan dari C2C12 myotubes dalam turunan (Amstrong,Wong dan Esser,dalam Pardjiono, 2008: 116 ).
Aktifasi’’ eksternal ’’ integrin dapat disebabkan oleh signaling transduction dari senyawa aggrin yang serupa integrin pada neuromuscular junction dan nitric oxide (NO) yang disekresi olek ujung serabut saraf (Selman,De Ruisseau dan Betters,dalam Pardjiono, 2008: 117). Sedangkan “ signaling transduktion pathways intraselular atau ‘’internal’’ secara garis besar meliputi dua tahap”. “Tahap pertama signaling transduction pathways terjadi sampai pada tingkat modulasi transkipsi gen”, modulasi tersebut juga berjalan secara berjenjang secara cascade (De Vol, Rotwein dan Sadow,dalam Pardjiono, 2008 : 117). Selanjutnya, adalah “ Tahap kedua, signaling transduction pathways terjadi pada tingkat transkipsi gen ( inisiator dan inhibitor)”. “ Genetik renspons diawali dengan proses transkipsi, Proses ini sangat penting untuik diketahui, sebab proses tersebut terjadi secara pesifik pada gen yang terkait dengan biologis otot skelet. Proses transkipsi terdiri dari transcription-initiator factor dan transciption- inhibitor factor’’. “Kedua macam senyawa tersebut berupa senyawa activator domain dan inhibitory domain kedua domain tersebut mempunyai ikatan pada DNA (DNA binding domain)” (Adams dan Haddad, dalam Pardjiono, 2008: 115).
Selanjutnya serangkaian mekenisme hipertropi otot tersebut adalah terbentuknya berbagai macam protein baik yang bersifat structural (terutama actin dan miosin) dan berbagai enzim untuk kepentingan metabolisme sel. Namun sampai saat ini proporsi sitesis semacam protein terutama yang menyangkut jumlah aktin dan miosin belum diketahui dengan jelas (Astrand, Rodahl dan K, Dahl dalam Pardjiono, 2008: 114).

2. Hiperplasia Otot Skelet
Menurut Claudius, “Sel-sel otot tidak mampu membelah secara mitosis, tetapi bukti-bukti eksperimental mengisyaratkan bahwa serat yang membesar dapat terputus menjadi dua di tengahnya, sehingga terjadi peningkatan jumlah serat (splitting)”. “Perubahan-perubahan adaptif yang terjadi di otot rangka secara bertahap berbalik ke keadaan semula dalam ... beberapa bulan apabila program latihan teratur yang menimbulkan perubahan itu dihentikan” (Claudius, 2009: 3).
Hiperplasia merupakan bertambahnya jumlah dari serabut otot akibat proses pembelahan. Pada otot manusia belum ditemukan bukti, bahwa pembebanan latihan fisik dapat terjadi hiperplasia, kalaupun terjadi jumlahnya sangat sedikit (Guyton dan Hall dalam Pardjiono, 2008: 114). Jadi mekanisme terjadinya hiperplasia otot skelet sangat jarang terjadi dibandingkan dengan mekanisme hipertropi otots kelet. Kedua mekanisme tersebut juga bergantung pada prinsip-prinsip latihan yang dilakukan.

I. Mekanisme kelelahan otot skelet
Setiap otot berkontraksi akan terjadi asam laktat. Makin tinggi intensitas latihan makin banyak asam laktat yang terbentuk dan untuk mengurangi asam laktat diperlukan oksidasi .... Bila O2 yang masuk kedalam otot relatif sedikit bila dibanding dengan kebutuhan proses oksidasi, dapat dipastikan makin lama jumlah asam laktat akan bertambah banyak. Kadar asam laktat dalam otot mencapai 0,3%-0.6%, maka otot tak dapat bereaksi lagi terhadap rangsang, sehingga otot tersebut dapat dikatakan leleh total …. “ Bertambah banyaknya asam laktat ini dapat menghalangi rangsang yang dibawa oleh saraf menuju otot, sehingga tidak semua rangsang sampai pada otot dan otot akan berkurang kekuatannya.” “ Dengan demikian seseorang yang mempunyai kemampuan mengambil O2 yang baik saat latihan, ia tidak mudah lelah.’’
“ Apabila seseorang mengalami kelelahan akibat latihan, kemudian istirahat, maka setelah beberapa waktu ia akan pulih dengan ditandai kekuatan otot yang lebih besar. Keadaan ini dikenal dengan recovery. Jadi recovery adalah proses pemulihan kekuatan otot, bukan pemulihan tenaga. Proses recovery dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Otot yang lelah karena kada rasam laktat tinggi akibat latihan dengan intensitas tinggi.
b. Kalau otot terus digunakan untuk latihan dan pemasukan O2 relatif sedikit, maka makin lama kadar asam laktat semakin tingi sehingga menghalangi saraf dan kekuatan semaikin lama makin menurun.
c. Dengan istirahat maka produksi asam laktat dan dio otot tak selalu ada proses oksidasi sehingga kadar asam laktat makin kecil, kemudian blokir terhadap rangsang hilang atau berkurang.
d. Setelah beristirahat kekuatan otot akan pulih kembali (Tjaliek, 1992: 77-79).

J. Macam-Macam Cedera Otot Skelet Saat Latihan
“Selain menyebabkan adaptasi otot skelet yang bersifat positif, latihan juga dapat menyebabkan pengaruh negatif ... diantaranya timbulnya berbagai macam cedera otot skelet” (Harjanto dan Santoso dalam Bawono, 2008: 102). Pertolongan pertama yang dianjurkan adalah dengan menerapkan metode RICE,” yaitu
R : rest = istirahat
I : ice = ditempel dengan iceatau bahan yang dingin
C : compression = Ditekan dengan bebat elastic
E: elevation = bagian yang mengalami cedera tadi dinaikkan
(Sumosarjuno, 1996: 157).

Berikut akan diuraikan beberapa macam-macam cedera otots kelet:

a. Cedera achilles tendonitis,
cedera ini dengan mudah diketahui apabila tendo ditekan akan terasa sakit. Rasa sakit akan terasa lebih pada pagi hari, bisa juga saat akhir atau mulai latihan. Tendo Achilles mudah mengalami cedera apabila peregangan pada otot betis tidak cukup dilakukan atau bahkan tak melakukan sama sekali. Dapat juga karena otot betis terlalu kaku, banyak lari, mendapat beban latihan berat dan kecepatan tinggi. Pertolongan pertama pada cedera ini adalah dengan istirahat, gosoklah bagian yang sakit dengan es dan akan obat-obat anti inflamasi. Jangan latihan kecepatan dulu dan kurangi intensitas latihan (Sumosarjuno, 1996: 178).

b. Cedera strain
“Cedera lain otot skelet akibat latihan olahraga adalah strain atau pegel-pegel, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Cedera ini disebabkan oleh latihan yang berlebihan pada otot tertentu” (Aminudin, 2009: 1).
c. Miogelosis
“Banyak atlet yang mengeluh bahwa otot-ototnya, terutama di punggung menjadi keras di beberapa tempat, hal ini terjadi akibat latihan olahraga yang cukup intensif dan terus-menerus”. “Keluhan ini disebut dengan miogelosis ... Ada dua macam tipe miogelosis, yakni yang berbentuk bulat dan memanjang”. “Penyebab miogelosis belum begitu jelas, namun diduga akibat beban latihan beban lebih terhadap otot yang bersangkutan” (Sumosarjuno, 1990: 140).
d. Kram otot skelet
“Aktifitas [saat] keadaan otot tidak siap dapat mengakibatkan ketegangan berlebihan yang tidak dapat dikendalikan ... otot, atau sering disebut dengan kram otot”. “Kram otot umumnya terjadi pada saat mendekati akhir latihan, kontraksi otot ringan mula-mula berkembang saat awal latihan, yang bertambah berat saat seseorang mengalami kelelahan dan berkurang jika kerja otot berkurang”.
Kram otot akan meningkat jika panjang otot dalam keadaan sangat memendek. Otot yang mengalami kram akan tampak sangat tegang, bergerak-gerak di bagian tengahnya ... Kram otot diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan mineral dalam tubuh, khususnya natrium. Keadaan kekurangan cairan dan kelelahan otot juga dipercaya dapat menyebabkan kram otot. Dengan demikian pencegahan kram otot adalah menjaga kondisi tubuh secara umum jika hendak berlatih, mempertahankan nutrisi, perhatikan pemulihan kondisi tubuh jika setelah berlatih berat (Nani, 2009: 4).

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengaruh latihan terhadap Hipertropi Dan Hiperplasia Otot Skelet
Dengan olahraga otot dapat mengalami hipertropi, karena selama kita latihan menghasilkan faktor-faktor yang mmempengaruhi terjadinya hipertropi otot. Sedangkan, Mekanisme hipertropi otot skelet dapat terjadi karena beberapa factor, antara lain hormon pertumbuhan,IGF-1, sintesa protein miofibrilar, sintesa aktin protein aktin mRNA, aktifitas aktin promoter, rintangan dari ubiquitin ligases tertentu serta famili integrin yang secara umum sampai saat ini telah diketahui dapat berfungsi sebagai ‘promotor’’ atau ‘’inisiator’’ pada sel otot skelet untuk modulasi hipertropi otot. Tidak semua latihan fisik dapat menyebabkan hipertropi otot, pada intinya latihan dengan prinsip-prinsip yang benar, seperti overload progession yang dapat menyebabkan hipertropi otot skelet.
Selain mekanisme hipertropi, otot juga dapat mengalami hiperplasia yakni bertambahnya jumlah sel akibat pembelahan. Mekanisme terjadinya hiperplasia otot skelet sangat jarang terjadi dibandingkan dengan mekanisme hipertropi otot skelet.

B. Bentuk bentuk latihan terhadap hipertropi otot skelet
Mekanisme terjadinya hipertropi otot skelet juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk latihan. Pada umumnya apapun bentuk latihannya, kalau dilakukan dengan prinsip-prinsip yang tepat dan benar dapat menyebabkan hipertropi otot skelet.
Ketika otot skelet mengalami hipertropi, serabut-serabut myofibril aktin dan myosin yang berperan dalam proses kontaksi otot mengalami penambahan, selain itu enzim untuk metabolisme energi juga bertambah. Berikut beberpa bentuk latihan yng berhubungan dengan hipertropi otot diantarnya:
1. Latihan kekuatan, apabila latihan kekuatan dilakukan dengan prinsip-prinsip yang benar maka hipertropi otot akan terjadi. Latihan kekuatan sangat penting untuk kekuatan otot, apabila latihan ini mengalami penurunan akan berlangsung hukum kebalikan.
2. Latihan beban, latihan beban atau weight training memang sangat berhubungan dengan hipertropi otot skelet. Tujuan dari latihan beban adalah melatih otot-otot tubuh, supaya mengalami peningkatan kekuatan. Intinya dengan latihan beban yang terkonsep dan teratur dapat menyebabkan penambahan masa serabut otot.
3. Latihan daya tahan, jenis latihan ini juga dapat mengakibatkan hipertropi otot, namun sangat sedikit. Adaptasi terbesar yang disebabkan oleh latihan ini adalah adaptasi biokimiawi dalam tubuh.

C. Mekanisme Terjadinya Kelelahan Otot dan Macam-Macam Cedera Otot Skelet
Saat otot mengalami kontraksi dapat menghasilkan asam laktat, kadar asam laktat akan mengalami peningkatan dalam otot saat jmlah oksigen dan intensitas latihan tinggi. Asam laktat berhubungan dengan kelelahan otot, bahkan sebagian orang menganggap bahwa asam laktat merupakan penyebab utama terjadinya kelelahan otot. Padahal selain asam laktat ada dua factor lain yang memilki peranan yang cukup untuk terjadinya kelelahan otot, yakni naiknya denyut jantung yang semakin tinggi dan kehabisan simpanan glikogen dalam otot.
Oleh karena itu melakukan praktek karbohidrat loading sebelum pertandingan yang melelahkan dan intensitas tinggi perlu dilakukan untuk menjaga simpanan glikogen dalam otot. Apabila terjadi kelelahan otot, maka istirahat aktif maupun pasif sangat diperlukan. Sebaliknya jika dalam keadaan kelelahan kita tetap melakukan aktivitas atau latihan kadar asam laktat dan denyut jantung akan semakin tinggi, dan cadangan glikogen semakin menurun akibatnya kekuatan semakin menurun, dan bahkan dapat terjadi berbagai macam cedera otot. Cedera otot yang terjadi akibat kelelahan diantarannya cedera strain. miogelosis, dan kram otot.









BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
1. Dengan olahraga dapat menyebabkan hipertrofi otot skelet, karena selam kita latihan dapat menghasilkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hipertropi otot skelet. Latihan yang overload progessive adalah salah satu prinsip latihan yang benar untuk menyebabkan mekanisme hipertropi otot skelet. Sedangkan sangan jarang dan sedikit sekali latihan dsapat mempengaruhi mekanisme hiperplasia.
2. Bentuk-bentuk latihan yang dapat mempengaruhi hipertropi otot skelet diantaranya adalah latihan kekuatan, latihan beban serta latihan daya tahan. Latihan beban dan latihan kekuatan sangat berhubungan, kedua macam latihan tersebut apabila dilakukan dengan prinsip-prinsip yang benar dapat menyebabkan hipertropi otot skelet. Sedangkan latihan daya tahan sangat sedikit sekali dapat menyebabkan hipertropi otot skelet. .
3. Kelelahan otot adalah suatu keadaan dimana kadar asam laktat semakin tinggi akibat latihan intensitasnya tinggi dan bertambah banyaknya asam laktat ini dapat menghalangi rangsang yang dibawa oleh saraf menuju otot, sehingga tidak semua rangsang sampai pada otot dan otot akan berkurang kekuatannya. Saat dalam keadaan kelelahan kita memaksakam untuk berlatih dengan intensitas yang tinggi dan durasi yang lama dapat menyebabkan berbagai macam cedera yang timbul, diantaranya cedera strain, miogelosis, dan kram otot.

B. Saran
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh latihan dan hipertropi otot skelet untuk mempertajam pengetahuan yang sudah ada selama ini.
2. Pelatih dan atlet harus lebih memperhatikan lagi faktor fisiologi tubuh, khususnya otot skelet hubungannya dengan latihan, guna memperoleh penampilan yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. 2009. Cedera Otot Pada Olahraga Futsal.Http://mediascastore.com. diakses pada tanggal 25 februari 2010 jam 14.00.

Badudu. Sutan, Mohamad. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bawono, M.N. 2008. Adaptasi latihan aerobic terhadap stress oksidatif dan antioksidan. Jurnal Ilmu Keolahragaan. 5(2): 102-110.

Cahyani, N. 2006. Pengaruh latihan terhadap kerja otot rangka. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Carlson, N. R.1994. Physiology ofbehaviour,5Th Ed, USA. Allyn and Bacon, Paramount Publish.

Claudius. 2009. Pengertian Fisiologi Olahraga. http://ikorsportscience.blogspot.com. Diakses padatanggal 26 maret 2010 jam 14.00.
Dault, Adhyaksa. 2007. Ilmu Faal. Jakarta: Cerdas Jaya.
Gibson, J.1995. Fisiologi Dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Jakarta. EGC. Hlm: 75-78.

Mountcastle,V.B.1980. Medical physiology.14Th.Ed. USA The C.V. Mosby Company. Pp; 1349-1364.

Nani. 2009. Kram Otot Pada Olahraga. http://Nani.Kramp-otot-pada-olahraga.html./. Diakses pada tanggal 24 februari 2010 jam 15.00

Patton, Fuchs, Hille, et all. 1990. Text book of physiology. 21Th. Ed. USA.W.B. Saunders Company. Pp:1461-1470, 1584.

Pardjiono, 2008. Hipertropi otot skelet pada olahraga. Jurnal ilmu keolahragaan.5(2):111-119.

Roger. 2009. Prinsip umum berolahraga. http://twdroger.blogspot.com/2009/10/prinsip-umum-or.html. diakses pada tanggal 14 februari 2010 juam 12.15.

Syarifuddin, Aip. 1990. Belajar Aktif Pendidikan Jasmani dan Kesehatan SMP. Jakarta: Grasindo.
Soni. 2008. Pengaruh Pemberian Latihan Fisik Terhadap Peningkatan kadar HB dan VO2max. jurnal ilmu keolahragaan.5(2): 71-85.

Sumosarjuno, Sadoso. 1990. Petunjuk praktis Kesehatan dan olahraga 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sumosarjuno, Sadoso.1996. Sehat dan Bugar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sudrajat, Prawirasaputra. Lutan, Rusli. Ucup. 2000. Dasar-Dasar Kepelatihan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Tjaliek. 1992. Ilmu Faal. Jakarta. Depaetemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Thibodeau,G.U. and Patton, K.T. 1996. Anthoni’s tex book ofanatomy andphisiology,15Th.Ed. St Louis Mosby year Book inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar